Pada kesempatan kali ini saya akan mengepost mengenai salah satu artikel yang sempat menjadi tren di kalangan sepak bola Indonesia, Setelah akhir tahun 2013 lalu Timnas muda kita meraih prestasi yang cukup membanggakan, yakni dengan menjuarai piala AFF U19. Tentu itu sempat menyedot antusias kalangan suporter termasuk saya untuk melihat perkembangan kedepannya dari anak anak muda usia ini. Disamping keberhasilan tentu juga ada kegagalan. Ya, kegagalan mencapai target menembus semifinal Piala Asia U20 di Myanmar tentu juga menarik respon banyak kalangan khususnya dimata pengamat sepak bola.
Kegagalan timnas U-19 ini seakan kembali melontarkan
pernyataan yang sudah muncul sejak puluhan tahun lalu, apa yang salah dengan
sepak bola Indonesia? Semenjak emas terakhir di SEA Games 1991, kegagalan demi
kegagalan terus terjadi. Belum ada bukti kegagalan itu dijadikan pelajaran
berharga bagi para pengurus sepak bola di negeri ini.
Mengapa pertanggungjawaban harus dialamatkan kepada para
pengurus PSSI? Jawabannya tentu karena prestasi dalam dunia olahraga apapun,
tidak hanya sepak bola, adalah cerminan kinerja dari para pengurus federasinya.
Dengan begitu, bisa jadi, salah satu faktor utama kegagalan itu adalah belum
adanya sumber daya pengurus yang mampu membina para pesepak bola di negeri ini
dengan niat baik dan benar.
Di Indonesia seringkali muncul pernyataan seperti ini: "Masa iya, ada lebih dari
200 juta penduduk yang sebagian besar merupakan penggila bola, negeri ini tidak
bisa membentuk timnas yang hebat?" Tidak perlu dulu kita bicara soal
prestasi, tetapi sudah adakah proses yang benar untuk membentuk timnas yang
memadai? Di sinilah muncul titik krusial krisis prestasi yang harus
dipertanyakan kepada pengurus sepak bola Indonesia.
Dengan segala bakat melimpah manusia di nusantara, sudah
pasti ada potensi besar bagi negara ini untuk berbicara di level dunia. Namun,
ketika muncul secercah harapan, mulailah "penyakit lama" para
pengurus sepak bola di negeri ini kumat, penyakit yang kerap membuat prestasi
para pemain muda dijadikan komoditas politik untuk pamer kesuksesan atau bisa
jadi pula mengeruk keuntungan.
Mau bukti? Tidak usah jauh-jauh melihat ulah mereka bertikai
saat memperebutkan kekuasaan atau karut-marutnya kompetisi sepak bola
Indonesia. Teranyar, tengoklah kondisi yang terjadi ketika timnas U-19 menuai
kesuksesan mengangkat trofi Piala AFF 2013 atau kegemilangan permainan mereka
saat mengalahkan Korea Selatan 3-2 di penyisihan Piala Asia U-19 2014.
Atas kesuksesan itu, di tengah euforia masyarakat Indonesia
yang rindu akan prestasi sepak bola, PSSI mulai bereaksi. Mulai dari Tur
Nusantara jilid I dan II hingga rangkaian turnamen-turnamen internasional
dipersiapkan untuk dijadikan ajang uji coba. Namun, jika menilik standar
persiapan uji coba level usia muda, melaksanakan pertandingan lebih dari 40
kali juga rasanya berlebihan.
Dan tampaknya cuma di Indonesia pula yang seluruh rangkaian
laga uji coba para pemain timnas muda itu disiarkan langsung oleh televisi
nasional. Padahal, cara seperti itu bisa kembali memunculkan pertanyaan,
bukankah langkah tersebut justru menjadi keuntungan bagi calon lawan Indonesia
karena mereka mudah mendapat rekaman video permainan Evan Dimas dan
kawan-kawan?
0 komentar:
Posting Komentar